Sinopsis Good Doctor Episode 1 part 1

Posted: Senin, 19 Agustus 2013 by khyunkhyun in Label:
0
Sinopsis Good Doctor Episode 1 – 1

Pagi hari, seorang pria, Park Shi On (Joo Won), sigap terbangun saat jam weker berbunyi. Tanpa bermalas-malasan, ia bangun dan mencuci rambut dan bersiap-siap. Pandangan matanya kosong saat merapikan rambut, seaan melamun. Namun ketika ia menatap bayangannya di kaca, rambut yang telah rapi, ia acak-acak kembali.
Ia keluar rumah dengan membawa sebuah koper besar, seperti akan pergi dengan waktu yang sangat lama. Tak ada yang mengantar kepergiannya. Hanya ada seorang nenek yang berpapasan dengannya dan pria itu menoleh sejenak tanpa menyapa, untuk kemudian melanjutkan langkahnya.
Shi On sampai di stasiun dan berpapasan dengan dua orang pekerja berseragam dan memakai helm, seperti orang lapangan.
Dan ia menoleh saat melihat seorang anak kecil di-bully oleh beberapa anak. Walau ditendang berkali-kali dan mukanya penuh luka, anak itu tak menjerit. Ia hanya memandangi kelinci yang ada di dalam kurungan. Hanya tangannya yang bergetar.
Tiba-tiba ada seorang anak yang lebih besar menendang anak yang mem-bully itu, dan mengusir mereka. Ia bertanya pada anak yang dipukuli itu, mencemaskan keadaannya. Tapi anak itu hanya memandangi kelinci dan tangannya masih bergerak-gerak, mengacuhkan pertanyaan yang ditujukan kepadanya.
Shi On masih memandangi kedua anak itu. Ada kereta lewat dan menghalangi pandangan ke arah keduanya. Setelah kereta menghilang, kedua anak itupun juga menghilang.
Anak yang dipukuli itu ternyata adalah adik dari si penyelamat. Sambil mengobati luka si adik, si kakak memarahinya, “Kalau kau ingin bermain bersama, kau seharusnya bertanya dulu. Kalau kau tetap memintanya, kau pasti diperbolehkan untuk bergabung bermain bersama mereka. Aku tak mempunyai banyak waktu untuk bermain bersamamu.”
Si adik hanya menatap kelinci yang dipangkunya, membuat kakaknya kesal. Tapi sekesal-kesalnya ia pada adiknya, ia tetap mengoleskan obat di wajah adiknya dengan sayang.
Rasa sayang itu kembali ia tunjukkan saat ayahnya marah pada ibunya yang seharusnya mengunci adiknya di dalam rumah dan bukannya membawa adiknya ke rumah sakit untuk diperiksa. Ibu mencoba menjelaskan kalau mereka harus mencoba mengobati putra mereka. Ia tak rela jika putranya tetap seperti ini.
Tapi si ayah malah makin marah dan melempari istrinya. Dengan tubuhnya, si kakak melindungi ibu dan adiknya dari lemparan dan tendangan brutal ayahnya. Bahkan si ayah melempar kurungan yang ada kelinci  di dalamnya ke dinding.
Tanpa ekspresi, si adik memandangi kelinci yang tergeletak tak berdaya.
Keesokan paginya, si adik membawa kelinci itu ke dokter. Dr. Choi Wook Suk mengatakan kalau kelinci itu sudah mati. Dengan terbata-bata, si adik bertanya apakah kelincinya akan masuk surga? Apakah mungkin kelincnya tak masuk surga (meninggal)? Dr. Choi menjelaskan kalau mereka bisa menyembuhkan kelincinya sebelum ia mati, maka kelinci itu tak perlu pergi ke surga.
“Jika saya menjadi dokter, bisakah saya mencegah kelinci masuk ke surga?”

Dr. Choi mengangguk dan tersenyum. Si adik membelai kelincinya dan berkata, “Saya juga.. ingin menjadi dokter.”
Si adik pun menguburkan kelincinya dan merasakan angin berhembus menerpa wajahnya. Di dalam bis yang kosong, ia menggambari kaca dengan gambar kelinci. Kakaknya marah, menyuruh adiknya untuk tidak sendiri, “Sudah kukatakan, kau harus tetap bersama dengan anak-anak lain walau kau dipukuli!” Si kakak juga kesal karena adiknya terus membawa kandang kosong ke mana-mana.
Adiknya hanya diam dan menggerak-gerakkan tangannya saja. Si kakak makin kesal dan meminta adiknya menjawab, “Jadi mereka tak akan mengataimu bodoh.”
Si kakak mengajak  adiknya menemui gerombolan anak yang memukuli adiknya kemarin. Pemimpin gerombolan itu akan mengijinkan si adik untuk bermain bersama mereka asal mereka masuk ke goa tambang dan membawakan bola penahan dari dalam, “Jika kalian berhasil, kami akan berbagi makanan dan bermain bersamanya.”
Dengan hanya berbekal senter, mereka masuk ke dalam goa. Namun belum sepat mereka masuk lebih dalam dan mengambil bola penahan, goa itu runtuh.
Para penyelamat berdatangan. Namun baru malamnya, mereka berhasil menggali sedikit celah untuk masuk ke dalam. Salah satu anggota penyelamat itu adalah dr. Choi. Dari celah itu, dr. Choi melihat kalau kedua bersaudara itu tergeletak pingsan. Belum sempat mereka melakukan tindakan, celah goa itu longsor dan menjebloskan dr. Choi ke dalam goa.
Kondisi kesehatan si adik rupanya jauh lebih baik daripada si kakak. Ia cukup diberi  alat bantu pernafasan. Sedangkan si kakak tetap tak bernafas walau dr. Choi sudah mencoba memompa jantungnya.
Si kakak pun meninggal di depan mata si adik. Di bukit tempat si adik menguburkan kelincinya, ia duduk dan memegangi pisau bedah mainan. Ia memutar-mutar pisau itu berulang-ulang.
Dan pisau bedah mainan itu masih berputar-putar, kali ini di tangan Park Shi On. Ia adalah si adik yang sedang mengenang kakaknya. Dipandanginya pisau mainan itu, dan saat terdengar suara peluit kereta, ia segera membungkus pisau mainan itu dengan rapi di dalam saputangannya.
Di dalam kereta, ia terus memandang keluar jendela dan baru menoleh ke dalam kereta saat mendengar suara ramai dari seorang ibu dan anak yang sedang makan telur. Ia menoleh dan melihat saat sang ibu menyuapkan telur dan minuman pada putranya. Ia segera mengalihkan pandangannya saat anak laki-laki itu menoleh padanya.
Tapi anak laki-laki itu rupanya menghampirinya dan mengulurkan  sebuah telur rebus kepadanya. Shi On memecahkan telur rebus itu ke kepalanya, seperti yang dicontohkan anak laki-laki itu, dan mengaduh kesakitan. Anak laki-laki itu tertawa cekikikan melihat reaksi Shi On yang mengusap-usap kepalanya yang sakit. Walau tatapan  matanya masih kosong, wajahnya sedikit melunak.
Di sebuah kamar di rumah sakit, seorang wanita berbisik, bercerita tentang sebuah kisah pada para pasien kecil, “.. dan tiba-tiba.. terdengar ketukan dari pintu kamar rumah sakit. Anak itu sangat ketakutan, jadi ia melangkah untuk mengunci pintunya. Selangkah.. dua langkah.. Ia sudah sampai di depan gagang pintu.”
Anak-anak semakin menciut, apalagi saat wanita itu berbisik semakin pelan, “ .. ia merasa ada sesuatu di belakangnya..,” namun suaranya mengeras saat tangannya terulur, “ .. Maka ia berbalik dan..”
“ARGGHHHH!!!” Seorang pria berteriak dengan lidah terulur dan matanya memutih membuat anak-anak itu menjerit ketakutan. Monster itu adalah perawat Jo Jung Mi.
“.. monster itu membawa anak itu karena anak itu tak pernah minum obatnya tepat waktu,” ujar wanita itu dengan riang. Haha.. Anak-anak mengeluh kecewa karena rupanya kisah yang diceritakan tentang mereka. “Jadi kalian harus meminum obat tepat waktu, Oke?” kata wanita itu menutup kisahnya. Dia adalah dr. Cha Yoon Seo (Moon Chae Won).
Di sebuah rumah abu, seorang pria membawa bunga dan mengunjungi salah satu kotak abu yang ada foto seorang remaja di dalamnya. Pria itu memandangi foto itu lama, namun setelah melonggarkan dasinya dengan kesal,  ia segera meninggalkan tempat itu. Pria itu adalah dr. Kim Do Han (Joo Sang Wook).
Presdir RS. Universitas Sung Won (USW), Lee Yeo Woon, membicarakan proposal yang diajukan Yoo Chae Kyung kepadanya. Namun ia tak setuju dengan proposal itu yang mengusulkan restrukturisasi pegawai. Chae Kyung beralasan kalau RS mereka telah terlalu banyak tenaga kerja. Presdir Lee berkata kalau rumah sakit itu bukanlah pabrik, “Hidup para pasien itu tergantung oleh kesejahteraan para pegawai.”
“Memang benar, tapi itu mengganggu kesejahteraan rumah sakit kita,” jawab Chae Kyung.
Tapi keputusan Presdir Lee telah final. Chae Kyung diminta untuk memberikan proposal yang bisa ia pahami (masuk akal). Dengan senyum yang tak sampai di matanya, Chae Kyung pun menyanggupi.
Di Seoul, Park  Shi On turun dari kereta dan merapal, “Meninggalkan stasiun dan menuju ke Jalur Satu. Ada 1 pemberhentian. Sekitar 1,9 km. Waktu sekitar 4 menit.  Biaya 1150 dengan tunai dan 1050 dengan kartu..”  Tiba-tiba langkahnya terhenti, dan  melongo, “.. whoaaa..”
Rupanya yang membuatnya terkagum-kagum adalah TV 3D yang super besar. Ia meraih kacamata 3D dan berdiri paling depan dan seperti anak kecil, meraih-raih apa yang ia tonton.
Dr. Choi rupanya juga sudah pindah ke Seoul. Ia teringat pada Shi On kecil. Bagaimana saat ia terkagum-kagum pada Shi On kecil yang membaca satu per satu bagian-bagian anatomi manusia. Dan tak hanya satu buku, tapi bertumpuk-tumpuk buku yang dibaca Shi On terus menerus.
Shi On masih menikmati TV 3D itu saat terdengar suara benda jatuh dan kaca pecah. Dan sepersekian detik, ada suara ibu menjerit, “Hyun Woo!!!”
Ternyata ada baliho elektronik besar yang sedang akan dipasang terjatuh karena kawat penahannya lepas, tepat mengenai anak laki-laki yang tadi memberi telur rebus pada Shi On. Ibu Hyun Woo berteriak minta tolong, dan salah satu pria yang rupanya adalah dokter segera menghampiri Hyun Woo.
Dengan bantuan pekerja pemasang baliho, mereka mengangkat Hyun Woo ke  area yang bersih dari pecahan kaca. Dokter itu segera memeriksa Hyun Woo. Leher Hyun Woo terluka oleh pecahan kaca, namun menurut dokter itu pecahan kaca tak mengenai pembuluh nadi utama, hanya mengenai pembuluh darah di leher.
“Ia akan baik-baik saja selama kita bisa menghentikan pendarahannya,” kata dokter itu sambil menekan saputangannya ke leher Hyun Woo yang berdarah.
“Jangan!” seru Shi On menyeruak dari kerumunan itu, masih dengan kacamata 3D-nya. Ia segera berjongkok dan melepas kacamatanya, “Jika Anda menekan sekeras itu, Anda akan menghalangi jalan masuk udara,” Shi On mengambil saputangan itu dan menekankan sedikit di atas luka, “Anda harus menekan sedikit di atas luka itu,” ujar Shi On dan meminta dokter itu melakukannya.
Mungkin terjadi kerusakan di liver atau jantung karena trauma.

Shi On memeriksa denyut nadinya dan berkata kalau nadinya normal. Ia pun membuka baju Hyun Woo untuk memeriksa luka yang mungkin terjadi. Dan saat ia membuka, semua terkesiap karena ada pecahan kaca yang cukup besar, menancap di perut. Shi On segera mengangkat kepala Hyun Woo lebih mendongak, dan meniupkan udara ke mulut Hyun Woo. Ia kemudian mendekatkan telinga ke wajah Hyun Woo.
Pasien mungkin akan mengalami cardioplegia karena kekurangan udara. Sangat penting untuk memeriksa pernafasannya. Berikan nafas buatan dan periksa apakah dada masih naik. Harus diperiksa apakah pasien masih bernafas.
Dan Shi On teringat di buku teksnya yang ia beri lima bintang. Sangat penting sekali. Ia pun segera memeriksa.


Tak ada respor dari paru-paru kanan. Kemungkinannya adalah tension pneumothorax.
“Berikan CPR per 3 detik, dan pastikan dadanya selalu naik!” perintah Shi On pada dokter itu. Shi On segera pergi ke apotik di dalam stasiun untuk menyiapkan peralatan operasi. Tapi sayang mereka tak memiliki scalpel ataupun pipa, “Apa yang harus kita lakukan?” tanya apoteker itu cemas.
Shi On segera melihat sekeliling apotik, dan menemukan apa yang ia cari. Bolpen.
Seakan Macgyver, ia segera mempersiapkan operasi darurat di stasiun. Ia mensterilkan semua peralatan termasuk bolpen yang sudah ia keluarkan isinya. Saat akan memulai pembedahan, ia menutup mata dan semua yang ia pelajari mengalir di benaknya.
Dengan mantap, ia membuka perut Hyun Woo dengan cutter dan memasukkan bolpen ke dalamnya. Ibu Hyun Woo gemetar dan bertanya apa yang sedang dilakukan Hyun Woo. Dokter yang di sampingnya menjelaskan kalau Shi On sedang membuka paru-paru kanan sehingga Hyun Woo dapat bernafas.
Shi On memasukkan bolpen itu lebih dalam, membuat darah muncrat ke bajunya. Semua terkesiap kaget, namun kemudian menghela nafas lega karena dada Hyun Woo bergerak naik turun lagi. Hyun Woo sudah bisa bernafas.
Akhirnya petugas medis datang dan Shi On langsung meminta alat intubasi pediatri. Dan  proses intubasi pun dilakukan. Setelah alat intubasi terpasang, Shi On memeriksa perut Hyun Woo.


Perut tetap membengkak. Sepertinya terjadi perdarahan hebat di dalam perut. Karena volume perut anak lebih kecil, pembengkakan ini cukup untuk membunuh pasien. Injeksi intravena harus cepat dilakukan. Tingkat kepentingan : empat bintang. Sebelumnya, aku harus mencari pembuluh darahnya.
Shi On meraba-raba, mulai mencari pembuluh darah di kedua tangan. Salah satu petugas medis mengusulkan agar Shi On melanjutkan proses ini di ambulans saja, tapi Shi On menolak, “Tidak, sudah tak ada waktu lagi. Lagipula hal ini tak dapat dilakukan di dalam mobil yang bergoyang. Aku minta cairan. Cepat! Cepat!”
Shi On terus mencari pembuluh darah di sekujur tubuh Hyun Woo. Anak-anak memiliki pembuluh darah yang tipis. Semakin tak terlihat saat anak mengalami pendarahan hebat. Ia sudah di tahap hypovolemic shock. Dibutuhkan injeksi intravena.
Karena alasan itulah maka Shi On tak dapat menemukan pembuluh darah. Oleh karena itu ia memutuskan untuk melakukan injeksi melalui bone marrow dan dibutuhkan jarum IO. Namun ternyata tim medis tak membawa jarum IO, maka tanpa ragu, Shi On menggunakan cutter lagi dan menyobek leher Hyun Woo. Jika tak menemukan pembuluh darah dan tak ada jarum IO, maka buka pembuluh darah utama untuk memberikan injeksi. Tingkat kepentingan : tiga bintang.
Dengan cekatan Shi On memasukkan selang injeksi dan menutup dengan perban. Ia memerintahkan petugas medis untuk memompa infus untuk mempercepat cairan diserap tubuh. Walau pecahan kaca masih menancap di perut Hyun Woo, namun kondisi Hyun Woo stabil dan Shi On pun berkata, “Kau akan baik-baik saja, Hyun Woo. Jangan khawatir,” dan pada tim medis ia berkata, “Segera bawa pasien ke rumah sakit.”
Orang-orang yang berkerumun bertepuk tangan, dan salah satu dari mereka telah merekam semua tindakan yang telah dilakukan Shi On dengan handphonenya. 
Shi On pun beranjak meninggalkan Hyun Woo yang sudah digotong di tandu. Tapi ibu Hyun Woo menghentikan Shi On, memintanya untuk menemaninya di ambulans. Shi On ragu karena ia harus segera pergi ke suatu tempat. Tapi melihat ibu Hyun Woo yang cemas, ia pun menyanggupi permintaan itu.
Di dalam ambulans, ia bertanya arah RS USW kepada salah satu petugas. Dan dijawab kalau mobil ambulans ini akan ke RS USW. Petugas medis itu bertanya apakah Shi On dokter di sana? Terbata-bata, Shi On mengiyakan.
“Park Shi On memiliki kualifikasi yang sangat baik untuk menjadi dokter,” kata dr. Choi menjelaskan di depan para petinggi RS USW. Lee Hyuk Pil, ketua Yayasan RS USW bertanya, kualifikasi itu berdasarkan apa, dan dr. Choi pun menjawab, “Karena ia memiliki sindrom savant.”
Mereka yang duduk langsung berbisik-bisik dan membuka-buka dokumen yang ada di hadapan mereka. Dr. Choi pun meneruskan, “Seperti yang Anda ketahui, orang dengan sindrom savant adalah autis yang menunjukkan kemampuan luar biasa di beberapa area tertentu.
Di depan mereka yang hampir mengernyitkan kening tak setuju, dr. Choi menjelaskan kalau Shi On memiliki spatial intelligence dan kemampuan mengingat yang luar biasa. Ia menceritakan betapa terkejutnya ia saat bertemu dengan Shi On yang pada umur 7 tahun, telah memahami anatomi secara penuh, “Ia masuk di sekolah kedokteran di Universitas Song San. Ia menyelesaikan sekolah dan diterima di RS Nasional. Ia juga sudah menyelesaikan tugas prakteknya dan akan segera menjadi residen.”
Di ambulans, Shi On teringat kalau tasnya ketinggalan di stasiun. Tiba-tiba mesin berbunyi dan petugas medis berseru kaget, “Detak jantung semakin cepat. Apakah ia akan hilang kesadaran? Padahal angkanya 100, tapi kenapa ia menjadi biru?”
Ibu Hyun Woo semakin cemas mendengar ini, ia menoleh bingung pada Shi On yang segera memeriksa denyut nadi Hyun Woo dan mendekatkan telinganya, mendengarkan detak jantung secara langsung.
Ambulans sudah tiba di RS USW. Hyun Woo segera dibawa ke ruang operasi. Shi On meminta agar Hyun Woo diperiksa echocardiography-nya. Tapi dokter yang membawanya mengatakan tak perlu karena berdasarkan monitor, detak jantungnya normal. Dokter itu malah bertanya siapa Shi On. Ibu Hyun Woo menjelaskan kalau Shi On adalah dokter RS USW dan yang menyelamatkan anaknya.
Dokter itu melirik sekilas pada Shi On dan berkata kalau ia tak pernah melihat Shi On sebelumnya dan bertanya di departemen mana Shi On bekerja. Shi On tak menjawab, tapi terus meminta agar dilakukan Echo..
“Tinggallah di luar. Hanya pendamping yang boleh ikut,” potong dokter itu di depan ruang operasi, meninggalkan Shi On yang menjadi panik.
Yoon Seo mengunjungi Eun Ji, pasien yang dijadwallkan akan operasi besok, dengan ditemani oleh Suster Nam Joo Yun dan dr. Han Jin Wook, untuk memberi semangat pada Eun Ji. Suster Nam meminta Eun Ji untuk mendengarkan dokter cantik itu. Maksudnya sih Yoon Seo. Tapi dr. Han pura-pura bertanya, "Memang di sini ada dokter cantik?" yang langsung kena sikut Yoon Seo. Heheh.. preman juga dokter cewek ini. 
Namun ibu Eun Ji datang dan melaporkan kalau Eun Ji akan dioperasi besok padahal Eun Ji belum bertemu dengan psikolog. Mendengar hal ini Yoon Seo sangat kesal dan langsung menghadap pada orang yang menjadwalkan operasi Eun Ji itu, yaitu dr. Kim Do Han. 
Tapi dr. Kim mengatakan kalau kondisi Eun Ji-lah yang membuat operasi harus segera dilakukan. Yoon Seo berteriak pada seniornya kalau Eun Ji harus diterapi oleh psikolog dulu agar menghilangkan ketakutannya pada operasi.
Dokter lain yang sedang duduk-duduk memilih menyingkir, mengetahui perang besar yang akan pecah, meninggalkan dr. Han bersama kedua dokter yang akan berseteru. Dan benar saja. Dr. Kim bangkit dan dengan sinis berkata, “Apakah kau tak tahu betapa seriusnya kondisi anak ini? Kalau yang kau pedulikan adalah anak-anak, jadi guru TK saja.”
Yoon Seo ingin membantah, tapi dr. Kim sudah memutuskan untuk membebastugaskan Yoon Seo untuk menangani Eun Ji, “Aku tak ingin melihat pasien mati.”
Yoon Seo menghela nafas, mencoba menahan kemarahannya. Ia pun berbalik pergi walau dr. Han mencoba mencegahnya. Dr. Woo Il Kyu muncul dan melaporkan kalau ada pasien trauma yang mengalami pendarahan di IGD.
Sementara Hyun Woo dipersiapkan untuk operasi, dr. Kim dan timnya memeriksa hasil CT scan dan rontgen-nya dan menyimpulkan kalau kondisi Hyun Woo tak begitu parah. Sempat terjadi pendarahan namun pertolongan pertama telah menghentikan pendarahan itu. dr. Kim meminta anggota tim-nya untuk bersiap melakukan operasi.
Tiba-tiba terjadi keributan. Mereka yang ada di ruang operasi keluar dan melihat Shi On yang ditahan oleh dua perawat di depan ruang operasi. Dr. Kim bertanya apakah Shi On adalah pendamping si pasien? Salah satu perawat mengatakan tidak. Shi On langsung berkata, “Tunggu, ada yang ingin kukatakan. Ada yang ingin kukatakan.. Cepat-cepat. Tak ada waktu lagi..”
“Diam. Di sini ruang operasi,” seru dr. Kim. Sekuriti datang dan menarik tubuh Shi On dan menutup mulutnya.
Tapi Shi On terus meracau walau sudah dibungkam, “Eike eikeka.. puyike.. puyikedi.. ippye..”
Dr. Woo heran mendengar ucapan Shi On yang tak jelas, “Kurasa ia abnormal.” Dr. Kim hanya memandangi Shi On yang ditarik keluar walau masih menggumamkan hal yang sama berulang-ulang.
Shi On pun berhasil dikeluarkan dan kali ini ada orang yang berjaga di ruang operasi. Shi On berkata, “Ini tak bagus. Sesuatu yang buruk akan terjadi.”
Tim operasi melihat kondisi fisik Hyun Woo dan mengakui kalau dokter yang melakukan pertolongan pertama pada Hyun Woo ini melakukan pekerjaan yang benar. Tapi Dr. Hong Kil Nam heran pada pemberian injeksi di pembuluh nadi utama. Dr Kim yang menjelaskan kalau hal itu digunakan untuk melakukan IJ cutdown, “Aku tak tahu dokter itu siapa, tapi ia benar-benar mengerti pediatrics (kedokteran anak). “
Tangan kanan Shi On mengetuk-ngetukkan punggung tangan kirinya, cemas. Sementara itu dr. Kim Jae Joon, kepala bagian Bedah Hepatobilier Pankreas,  bertanya tentang Shi On yang bisa mengikuti ujian nasional. Sepengetahuannya, orang dengan keterbelakangan mental tak bisa mengikuti ujian itu, “Bagaimana ia bisa melewatinya padahal ia menderita autis?”
Dr. Choi menjelaskan kalau pada umur 17 tahun, Shi On telah didiagnosa normal untuk masalah autism-nya.  Karena sejarah penyakitnya, hasil ujian itu pernah dibatalkan. Tapi karena ia maju sebagai penjamin, maka pembatalan hasil ujian itu dianulir. Dr. Choi menunjukkan dokumen yang menyatakan anulir pembatalan hasil ujian. Hal ini berarti hasil ujian nasional Shi On dinyatakan layak.
Presdir Lee bertanya apakah RS USW juga bisa mengeluarkan dokumen seperti itu? dr. Choi mengiyakan. Shi On bisa mendapatkan dokumen kelayakan itu setelah melakukan residensi selama 1 tahun
Wakil Presdir Kang Hyun Tae bertanya apakah itu berarti autism Park Shi On sudah terkendali? Dr. Choi menjawab walau autism-nya tak sembuh total, tapi ia tak akan memiliki masalah untuk menjadi dokter.
“Apa maksudnya ia belum sembuh total?” tanya wapresdir Kang.
“Ia sangat mampu untuk menjadi dokter, tapi ia memiliki kekurangan dalam kemampuan sosial dan komunikasi.”
“Jadi apakah kau ingin berkata kalau ia secara psikologis belum dewasa?” tanya Direktur Yayasan RS, Lee Hyuk Pil tertawa sinis, “Benar-benar tak masuk akal.”
“Walau ia diterapi, saya yakin sangat tak mungkin baginya untuk bersikap sebagai seorang dokter,” kata dr. Kim Jae Jon.
“Apa Anda pikir rumah sakit kita ini pusat rehabilitasi untuk orang cacat?” sindir Direktur Lee. “Beraninya Anda membawa orang seperti ini..”
“Direktur Lee,” potong Presdir Lee. “Mohon jaga bicara Anda.”
Wapresdir Kang mencoba menengahi. Sebaiknya mereka melihat dr. Park Shi On secara langsung. Kepala bagian bedah anak, Go Chong Man, mengatakan kalau sekarang sudah lebih dari 30 menit tapi dr. Park sampai sekarang belum datang juga.
Dr. Choi tak dapat menjawab. Ia hanya bisa melirik handphone-nya, mencoba menghubungi Shi On. Tapi panggilan itu tak mungkin terjawab, karena handphone Shi On masih tertinggal di stasiun.
Sementara yang dicari-cari, berdiri tak jauh dari tempat pertemuan mereka, sedang cemas menunggu di depan ruang operasi.
Di dalam, dr. Kim melihat kalau tak terjadi kerusakan yang kritis. Maka mereka pun mulai proses suction. Tapi begitu selang mulai membersihkan, tiba-tiba terjadi penurunan drastis. Dr. Kim langsung menghentikan proses suction dan menduga kalau ada masalah jantung. 
Ia meminta laporan echocardiography pasien. Tapi belum ada yang melakukan karena tak terlihat masalah dalam jantungnya.
Ketidaksediaan laporan echocardiography itu tiba-tiba mengingatkan dr. Kim akan ucapan orang yang tadi masuk ke ruang operasi.



sumber : kutudrama

Related Posts by Categories

0 komentar: